Kamis, 13 Maret 2008

UNTUKMU KANA, Cerpen

UNTUKMU, KANA......


Oleh: Fina Af’idatussofa

Semua orang memujinya, semua orang menyayanginya, semua orang menghargainya. Seseorang berwajah ayu yang menyejukkan hati. Gadis yang biasa dipanggil Kana ini tak hanya cantik parasnya, tapi hatinya juga tak kalah cantik. Namanya sudah cukup populer di sekolahku. Terlebih lagi setelah ia menjadi pimred disebuah majalah ternama di kota Salatiga. Namanya kian tersohor. Tak hanya di sekolah, tapi juga di seluruh penjuru kota. Selain cerdas, ia juga berhati mulia. Suka berbagi, dan tak mau mengemban ilmunya sendirian. Masih muda, tapi selalu aktif dalam hal apapun. Terlebih jika saat berbagi ilmu. Semangatnya tiada yang menandingi. Cara pikirnya sangat global, dan yang tak bisa hilang dari ingatanku adalah semangatnya untuk menjadikan orang-orang di sekitarnya merasa nyaman dengannya.
Persahabatan kami berlangsung cukup lama. Kami memiliki banyak kesamaan. Antara cita-cita serta hobi. Kami sama-sama memasuki forum seni di sekolahku. Jadi tak heran jika kami lebih sering kumpul bersama meski sebenarnya kami berada di kelas yang berbeda. Aku di kelas dua, dan Kana di kelas empat. Yah, kami bersama dan selalu bersama. Aku sendiri sempat terheran, kenapa aku sangat betah berada di sampingnya. Senyumnya, kepribadiannya, semuanya mendamaikan. Tak heran jika hampir semua cowok di sekolahku naksir dia.
Semua berjalan baik-baik saja, hingga peristiwa itu terjadi. Suatu hari dimana aku dan dia berada di forum yang berbeda. Aku mengikuti forum Filsafat bersama Hafidz, Zulfah, Anang, Eny, Hasan dan beberapa teman yang lain. Sementara Kana, ia lebih memilih forum kajian fiqih. Sebenarnya kami sudah sepakat untuk sama-sama mengikuti kajian Filsafat. Tapi entah kenapa tiba-tiba Kana berpindah ke kajian fiqih bersama Adi, Aisyah, Ida, Asnan dan beberapa siswa lain yang lagi getol mengkaji fiqih.
Saat itu aku sangat marah dengan Kana. Dia tidak menghargai kesepakatan kami. Telebih lagi saat aku tahu mengapa Kana tak mau ikut forum filsafat. Ternyata hanya karena adanya Hafidz. Uuuugh, dia egois. Kenapa harus membawa masalah pribadi di forum. Ini tidak adil buatku.
“Aku nggak mau tau! Pokoknya kamu harus ikut forum filsafat Cik!” ucapku saat makan di rumah Mbah Lam.
Aku memang selalu memanggil Kana dengan sebutan ‘Cik Kana’, berhubung terlalu panjang jadi kusingkat CIKA.
“Tapi, Da. Kamu hargai perasaanku dong. Aku nggak bisa gabung dengan Hafidz.” Ucap Kana.
Terang aja Kana berani terang-terangan ngomongin Hafidz di tempat itu. Maklum, siang itu rumah Mbah Lam lagi sepi.
“Ah, sebel! Kamu selalu membawa masalah pribadi. Kalau gitu aku dong yang rugi.”
“Kita kan masih satu forum di forum seni, Da. Jadi kamu nggak perlu hawatir. Tapi plis, jangan paksa aku untuk masuk ke forum filsafat.”
“Tapi kita kan udah sepakat, Cik. Kita udah sepakat bakalan masuk ke forum Filsafat.”
“Kamu bisa ngerti aku nggak sih? Plis, kali ini aku nggak bisa,”
“Uuugh, ya udah.” Aku membanting sendok ke piring rada kasar. Kemudian berlalu meninggalkan Kana.
Dengan tersungut-sungut, kularikan kakiku ke ruang atas. Sekedar menikmati lagu-lagu ciptaan Naim. Di atas udah ada banyak anak yang lagi asik mendengarkan Naim konser bareng Emy.
Bibirku masih manyun. Aku masing mangkel sama Kana. Rasanya dadaku benar-benar sesak. Aku pengen nangis. Aku merasa dikhianati. Tega-teganya…
Tes, air mataku tumpah. Aku terisak-isak sendirian di tengah kerumunan teman-teman.
“Da, kamu kenapa?” Tanya Zulfah perhatian.
“Aku sebel!” seruku sambil berlalu dari ruang atas. Aku mulai menuruni tangga dan menuju ruang tamu. Mencet-mencet organ dengan pencetan yang nggak jelas.
“Aida! Sorry. Kali ini aku nggak bisa.” Suara Kana tertangkap jelas di telingaku.
Aku masih tak mau menoleh ke belakang. Jariku masih mencet-mencet organ.
“Da,”
“Maaf, anda mengganggu kesibukan saya.”
Kana berlalu. Bisa ditebak, pasti ia memasang tampang kecewa di wajahnya. Kasian juga sih, tapi aku masih sebel sama dia.

***

Hari ini pamflet forum-forum sudah terpampang dimana-mana. Pamflet pengumuman dan pemberitahuan anggota per forum. Ada forum filsafat, matematika, bahasa jepang, bahasa inggris, bahasa arab, kajian fiqih, tauhid, dan lain sebagainya.
Kupaksa diriku untuk sekedar melihat pamflet forum filsafat. Males memang, tapi biarlah. Tak ada salahnya aku melihat dan mengetahui siapa saja anggota forum filsafat. Aku menyisiri satu persatu nama yang terpampang di situ. Aku iseng cari-cari namaku. Sapa tahu belum dicantumkan. Ternyata namaku terpampang nomor dua dari bawah. Aku menarik senyum simpul. Tapi mendadak senyumku tercekat begitu kulihat nama yang ada di bawah namaku. Nama Kana masuk dalam daftar anggota forum filsafat!!! Antara kaget dan bingung, kupandangi betul tulisan nama itu. Salah nggak ya?
“Cika?” gumamku pelan.
“Yah, aku jadi ikut forum filsafat.” Ucap seseorang dari belakangku.
Aku mengalihkan perhatianku ke arah suara tadi. Benar dugaanku, Kanalah yang berada dibelakangku. Ia memperlihatkan senyumnya. Begitu juga denganku. Akhirnya dia mengertiku juga.
Forum filsafat berlangsung dengan baik buatku. Tapi entah Kana. Awalnya kulihat dia baik-baik saja. Malahan setiap hari dia tak pernah absen dan selalu aktif di forum. Aku tahu, ia mencoba bertahan meski ada Hafidz di situ. Aku sedikit mengingat peristiwa menyedihkan itu. Peristiwa putusnya Kana dengan Hafidz beberapa bulan yang lalu. Mengenai sifat-sifat Hafidz yang tiba-tiba berubah. Padahal saat itu, Kana lagi bener-bener jatuh cinta sama cowok berkarisma tinggi itu. Hubungan mereka berdua terkenal harmonis. Dua pasangan romantis yang sama-sama pinter Qori’. Tapi kejadian itu tiba-tiba terjadi. Tanpa sebab yang pasti, Hafidz minta putus. Padahal saat itu Kana sedang ada masalah dengan proyeknya. Kasian, saat itu Kana benar-benar putek. Disaat-saat Kana membutuhkan Hafidz untuk membantu menyelesaikan masalahnya. Eh malah dia menambah beban Kana.
Aku tak tega melihat Kana seperti itu. Memang sih saat curhat denganku, ia masih sempat tersenyum. Tapi senyumnya itu malah membawa luka di hatiku. Karena dia tersenyum perih, sebab air matanya turut mengiringi curhatannya. Yang membuat Kana dan aku tambah sedih, beberapa hari setelah mereka berdua putus, ada kabar kalau Hafidz menyukai Puji. Teman sekelasku yang suaranya tak kalah keren dengan suara Kana. Dia juga Qori’ah seperti Kana. Puji memang selalu berusaha menjaga hati Kana. Tapi Hafidz? Dia terus-terusan menyakiti hati sahabatku itu. HUH SEBEL!
Forum berjalan cukup menyenangkan. Meski tak pernah sekalipun kulihat Kana berbincang dengan Hafidz. Yah, aku bisa memakluminya. Kana selalu menunjukkan senyumnya. Itu yang selalu kulihat dari ekspresi Kana. Seperti tak ada dendam sedikitpun untuk Hafidz. Semakin hari, forum filsafat semakin hidup. Adu argumen dan pikiran bak menjadi santapan sehari-hari. Menyenangkan, sungguh menyenangkan.
Suasana seperti itu seperti berubah semenjak kedatangan Puji. Mungkin beberapa teman yang lain tak merasakannya. Tapi akulah yang menyadari semua itu. Apalagi kalau bukan karena keadaan Kana yang jadi berubah. Kana jarang masuk forum, jarang berbicara ketika di forum.
“Ada masalah?” Bisikku suatu ketika ketika di forum.
Kana hanya menggeleng dan memberikan seulas senyum. Aku tahu, ada banyak hal yang ingin ia katakan. Tapi ia tahan karena saat itu masih di forum.
Ada perasaan tak mengenakkan yang akhir-akhir ini menyelinap di cela pikirku. Aku sering memergoki Kana sedang menatap Hafidz yang lagi pedekate sama Puji. Puji memang tak begitu menanggapi, tapi sikap Hafidz memang benar-benar berlebihan. Aku sendiri sembab melihatnya. Hafidz terlalu memberikan perhatian lebih ke Puji. Benar-benar tak mempedulikan perasaan Kana. Anehnya, Kana tetap memberikan seulas senyum padaku begitu aku kerpergok sedang memperhatikan gelagatnya.
Sampai suatu ketika, kulihat dia terdiam diri di ruang perpus. Ruangan itu sepi dari orang-orang. Hanya ada dia yang duduk terdiam sedang merenung seorang diri.
“Ada apa, Cik?” ucapku seraya mendekatinya.
Cika menggelengkan kepala dan masih tersenyum. Padahal aku tahu, matanya sudah berkaca-kaca.
“Cerita padaku!” bujukku.
Kana terdiam. Ia tertunduk. Seperti ada sesuatu yang sengaja ia tutup-tutupi.
“Cik, cerita dong. Kalau kamu gini, aku juga yang sedih.”
“Aku nggak sedih kok!” dusta Kana sambil memperlihatkan senyumnya.
“Kamu nggak bisa bohong sama aku! Plis, kamu cerita dong.”
Kana ternduk lagi. Kali ini ia terlihat sulit mempertahankan bendungan air matanya.
“Cik, plis aku ini sahabatmu!” aku mulai mendesah.
“Aku tak tahan dengan sikap Hafidz. Aku masih sayang dia. Tapi kenapa dia tak bisa menjaga hatiku…” ucap Kana lirih.
“Cik…” Aku mengiba.
“AKu tahu, dia menyukai Puji itu HAKnya. Tapi setidaknya, dia bisa menjaga hatiku. Aku tak tahan dengan kelakuannya di depanku. Aku tak tahan, Da!” suara Kana kian meninggi. Kali ini Kana benar-benar tak bisa menahan air matanya. Baru kali ini kulihat Kana menangis seperti itu.
Aku mulai mendekapnya, “Cik, jangan sedih. Masih banyak cowok yang suka kamu. Masih banyak yang lebih baik darinya. Percaya sama aku.”
Desahan Kana semakin kencang, “Bantu aku melupakan Hafidz, Da. Bantu aku membencinya. Jangan biarkan aku tersika dengan perasaanku sendiri!”
“Cik, kamu itu tegar! Kamu harus tangguh. Mana Cika yang tabah?”
“Aku sudah berusaha, tapi perasaanku semakin kuat memaksaku untuk terus melukai hatiku. Aku capek, Da.” Air mata Kana membasahi pundakku.
Aku melepas dekapanku,”Kenapa setelah Puji masuk forum kita, kamu nggak pindah?” ucapku dengan penuh hati-hati.
“Pindah? Lantas bagaimana dengan kesepakatan kita?”
GLEK. Ada sedikit perasaan yang menggertak. Sepertinya selama ini Kana rela bertahan di forum hanya demiku, demi kesepakatan itu. Atau bahkan demi supaya aku tak marah. Ya Allah, betapa aku baru sadar. Demiku, Kana berusaha meredam sakit hatinya. Demi supaya aku tak marah, Kana mau melakukan apa yang sebenarnya tak sanggup ia lakukan.
” Maafkan aku, Cik.” Ucapku serak.
“Kenapa kamu yang minta maaf?” Suara Kana makin lirih.
“Aku yang memaksamu untuk ikut forum filsafat. Aku tak memahami perasaanmu. Maafkan aku,”
“Bukan kamu yang salah. Kesepakatan tetaplah kesepakatan. Katanya, nggak usah mengaitkan masalah pribadi di forum kan?”
“Tapi kan lain ceritanya. Kalau kamu sudah sakit hati seperti ini, aku juga yang sedih.”
Kana terdiam.
“Kita pindah forum aja yuk!” ajakku.
Kana terdiam. Aku semakin tak tahu apa yang ada dalam hatinya.
“Cik, kita pindah forum aja. Aku tak tega melihat kamu selalu sakit hati,”
Kana menghempaskan nafas lantas mulai menatapku, “Kita harus bertahan. Kita tak boleh kalah. Kita sudah memasuki sebuah forum. Kita harus konsisten. Kita tak boleh menyerah. Kita hadapi apa yang terjadi. Setiap apa yang kita lakukan pasti ada cobaan, dan kita harus hadapi semua itu.”
“Tapi apa kamu siap dengan kelakuan Hafidz yang semakin menjengkelkan itu?”
“Akan kuhadapi. Siapa tahu, lama kelamaan aku bisa jadi kebal. Dan semoga saja perasaanku sedikit-demi sedikit bisa menghilang.”
“Kamu yakin akan menghadapi semua itu,”
“Aku yakin!” Kana optimis.
“Kana, maafkan aku! Aku yang salah…”
“Sudahlah… semuanya salah. Sekarang tinggal bagaimana memperbaikinya.” Kana menunjukkan senyum khasnya, meski matanya masih berkaca-kaca.
Kubalas senyum itu. Kalau Kana sudah tersenyum seperti itu, aku hampir tak bisa membedakan senyum apakah itu. Sedih atau bahagiakah? Tapi yang jelas, ia yang selalu mengajariku untuk tersenyum dalam segala suasana. Senyum syukur dan senyum ketabahan.
Jika Kana mau jujur, pasti sebenarnya ia mau memakiku lantaran apa yang sudah aku lakukan. Memaksanya untuk mengikuti forum yang tak ia inginkan. Ini salahku… aku yakin Kana juga membenarkannya. Tapi seperti biasanya, Kana selalu menjaga perasaanku. Mencari solusi terbaik agar aku bahagia. Aku bisa merasakan itu. Mempertaruhkan hatinya demi supaya aku tak marah. Aku tahu persis karakternya. Ia selalu berusaha membahagiakan orang-orang sekitarnya meski harus berkorban seperti apapun.
Kuikuti perjuanganmu, Sobat. Aku akan menjagamu di forum filsafat selanjutnya. Tak kan kubiarkan Hafidz atau siapapun melukaimu. Tenang, aku di sampingmu selalu…