Senin, 24 Maret 2008

PENDIDIKAN, Artikel


PENDIDIKAN DALAM CENGKERAMAN

KAPITALISME GLOBAL...!!!

Oleh: Siti Qona'ah


Potret Buram Pendidikan Indonesia,

Terbunuhnya praja IPDN akibat pemukulan yang dilakukan seniornya makin mencoreng dunia pendidikan Indonesia. Praja yang dididik untuk menjadi pengayom rakyat justru menampakkan wajah yang mengerikan, menjadi pembunuh. Ironisnya, ini bukan pertama kali terjadi.

Bentrok antar mahasiswa juga kerap terjadi di kampus-kampus yang lain. Tawuran pelajar bahkan seakan sudah menjadi tradisi di Indonesia. Berbagai kasus lain juga meningkat dikalangan pelajar kita seperti narkoba, sesks bebas, aborsi sampai menjadi pelaku kriminal.

Kualitas pendidikan Indonesia juga menyedihkan. Menurut hasil survey UNDP (2002), kualitas SDM Indonesia ternyata hanya menduduki peringkat 110 dari 179 negara di dunia, hanya satu tingkat di atas Vietnam. Padahal kita tahu, Vietnam selama puluhan tahun mengalami perang saudara. Kita bahkan jauh di bawah Philipina, Thailand, apalagi Malaysia dan Singapura. Sungguh memalukan!!!

Dari sisi keahlian pun kita sangat jauh di bandingkan dengan Negara lain. Dibandingkan dengan India, misalnya, kualitas SDM Indonesia sangat jauh tertinggal. Prestasi India dalam teknologi dan pendidikan sangat menakjubkan. Jika Indonesia masih dibayang-bayangi oleh pengusiran dan pemerkosaan tenaga kerja tak terdidik yang dikirim keluar negeri, banyak orang India yang menduduki posisi bergengsi di pasar kerja internasional. Sekitar 30 persen dokter di AS merupakan warga keturunan India. Tidak kurang dari 250 Microsoft juga berasal dari India. (Kompas, 4/9/2004).

Sudah tidak bermutu, pengangguran di negeri ini juga terus meningkat. (Kompas, 22/9/2006), mengutip data Badan Pusat Statistik, menguraikan angka pengangguran lulusan universitas di Indonesia telah mencapai sekitar 385.000 orang pada tahun 2005. dari kecenderungan yang ada, bukan mustahil angka tersebut menembus 500.000 orang pada tahun 2007.

Potret buram di atas menggambarkan kondisi pendidikan kita yang menyedihkan. Pendidikan telah gagal mencetak anak didik yang memiliki kepribadian yang khas, apalagi kepribadian islami, sangat jauh. Kemampuan sains dan teknologi mereka juga menyedihkan. Padahal dua perkara seperti: kepribadian unggul serta penguasaan sains dan teknologi merupakan perkara penting untuk membangun bangsa ini.

Kondisi di atas tidak bisa lepas dari cengkeraman ideologi Kapitalisme yang semakin menguat di Indonesia. Kegagalan pandanaan pendidikan untuk menghasilkan pendidikan yang berkualitas merupakan dampak langsung dari krisis ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi disebabkan oleh kebijakan neo-liberal yang menguat. Sementara itu, kegagalan pembentukan kepribadian yang unggul, unik dan tangguh tidak lepas dari pengaruh sekularisme yang membuat anak didik semakin jauh dari agama.

Cengkeraman Kapitalisme ini memunculkan dua ancaman besar bagi pendidikan kita: komersialisasi dan sekularisasi.


ANCAMAN KOMERSIALISASI

ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH!!! Mungkin itu yang terjadi tidak lama lagi di Indonesia. Pasalnya, sekolah semakin mahal. Untuk masuk sekolah dasar yang unggul saja, orangtua bisa menghabiskan uang jutaan rupiah. Memang, ada yang murah, tetapi jangan ditanya kualitasnya, tentu apa adanya. Inilah yang disebut diskriminasi dalam dunia pendidikan kita. Kalau punya uang bisa mendapat kualitas pendidikan yang baik, kalau tidak punya, harus pasrah dengan kualitas pendidikan yang menyedihkan. Padahal seharusnya pendidikan berkualitas harus berlaku sama bagi siapa saja, punya uang atau tidak. Sebab, pendidikan berkualitas marupakan asset negeri dan bukan milik orang kaya saja.

Pengadopsian kebijakan kapitalis dalam dunia pendidikan memang semakin menguat. Dalam sistem kapitalis, peran Negara diminimalisasi: Negara hanya sebagai regulator. Peran swasta pun dioptimalkan. Muncullah istilah-istilah seperti Luhur, yang sebenarnya menipu, seperti otonomi sekolah, otonomi kampus, dewan sekolah, yang intinya Negara lepas tangan terhadap dunia pendidikan. Akibatnya, sekolah dan kampus harus jungkir balik mencari dana. Jalan pintas yang diambil sekolah adalah menaikkan biaya pendidikan. Jadilah pendidikan semakin mahal dan sulit dijangkau orang miskin. Untuk sekolah yang para orangtua muridnya dari kelas atas, mungkin tidak begitu masalah, sumbangan orangtua murid bisa membiayai sekolah. Tidak demikian dengan sekolah yang orangtua muridnya kelas bawah. Alih-alih menyumbah untuk sekolah, untuk makan saja susah.

Ancaman komersialisasi menjadi kenyataan ketika perguruan tinggi berubah statusnya menjadi PT BHMN (Perguruan Tinggi Milik Negara) yang kemudian diperkuat dengan RUU BHP (Badan Hukum Pendidikan). Alasannya, memang kelihatannya bagus seperti meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan jaminan mutu. Namun, praktiknya adalah kapitalisasi pendidikan. Cirinya, peran Negara diminimalkan dan pendidikan lebih diserahkan kepada masyarakat. Lagi-lagi yang muncul adalah masalah pendanaan. Perguruan Tinggi akhirnya harus banting tulang untuk mencari sumer pendanaan mulai dari buka bisnis sampai yang paling gampang, menaikkan biaya pendidikan. Hasilnya, Pendidikan Benar-Benar Komersialisasi!!!

Aset-aset perguruan tinggi di jadikan bisnis untuk mencari uang. Misalnya saja, IPB mendirikan Bogor Botanic Square, Ekalokasari Plaza, dan pom bensin di wilayah kampusnya. Sebenarnya ini sudah melanggar Tri Dharma perguruan Tinggi karena menjadikan bagian kampus sebagai pusat bisnis. Untuk memenuhi kebutuhan pendanaan perguruan tinggi konversi aset tersebut dikatakan boleh-boleh saja. Permasalahannya jika institusi pendidikan tidak mempunyai aset, atau sedang buntuk tidak memiliki cara lain untuk memperoleh dana. Alhasil, biaya pendidikanlah yang naik.

Peningkatan biaya pendidikan dijumpai pada semua perguruan tinggi yang telah menjadi BHMN ini. Sebagai contoh, di UI, pada tahun 1999, Dana Peningkatan Kualitas Pendidikan (DPKP) sebesar 1.5 juta rupiah meningkat tiga kali lipat dari biaya sebelumnya yang limaratus ribu rupiah. Lalu tahun 2003, Program Prestasi Minat Mandiri (PPMM) mengharuskan mahasiswa membayar uang masuk sebesar 50-60 juta rupiah, belum uang pangkalnya (admission fee) yang kisarannya 5-25 juta rupiah.

Dana ini berupa SPP dan non-SPP. Kita bisa mengambil ITB sebagai contoh. Pada tahun 2007 ITB membutuhkan anggaran dana sebesar Rp 392 miliar. Dengan subsidi pemerintah yang kecil, ITB harus mencari jalan keluar agar kebutuhannya terpenuhi. Lalu, ITB menetapkan biaya SPP regular (S1) untuk tahun ajaran 2007/2008 sebesar Rp 3,25 juta/semester. Bahkan Sekolah Bisnis Manajemen dikenakan biaya sebesar Rp 625.000,00/ SKS.

IPB juga menjadi bukti yang lain. Dalam RKAT (Rencana Anggaran dan Kegiatan Tahunan) 2005, IPB memerlukan biaya operasional sebesar Rp 292,99 miliar. Memang, tidak ada kenaikan SPP. Namun, IPB mencari sumber pendanaan lain melalui dana masyarakat non-SPP. Sumber dana masyarakat non-SPP yang diberlakukan IPB adalah sebagai berikut: penerimaan mahasiswa baru, biaya pengembangan institusi dan fasilitas, beasiswa, wisuda, bantuan, uang asrama, sewa fasilitas, kendaraan, uang parkir, pendapatan dari jasa giro, kerjasama penelitian dan pemberdayaan masyarakat.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah. Namun, bukan berarti hal itu dibebankan kepada masyarakat. Kewajiban pemerintahlah yang seharusnya menjamin pendidikan setiap rakyatnya baik kaya atau pun miskin, dengan akses yang mudah untuk pendidikan yang bermutu. Saat ini, status PT-BHMN memberikan peluang yang besar untuk memandulkan peran Pemerintah dalam sector pendidikan. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8% (Kompas, 10/5/2005).

Kondisi ini tidak terlepas dari tekanan utang dan kebijakan pembayaran utang. Sebanyak 25% komponen APBN habis untuk membayar utang. Meskipun Presiden telah membubarkan CGI pada 24 Januari 2007, namun setidaknya 3 kreditor besar (World Bank, ADB, dan Jepang) tetap dipertahankan. Selama ini, cicilannya hamper Rp 50 triliun per-tahun./(CaN)

Tidak ada komentar: