Sabtu, 22 Maret 2008

SINETRON, Opini


SINETRON ADALAH RACUN dan PESTA PEMBODOHAN

GENERASI MUDA!!!

Oleh: Siti Qona’ah


Siapa yang tak kenal SINETRON? Orang Indonesia, bahkan yang tak punya televisi sekalipun pasti tahu apa itu Sinetron meskipun mugkin hanya bisa menjabarkannya dalam bentuk judul-judulnya saja. Sinetron (Sinema Elektronik) mulai berkembang pesat seiring munculnya stasiun-stasiun televisi (TV) swasta di-era tahun 90-an.

Menjamurnya PH (Production House) semakin mendorong lajunya dunia per-sinetron-an Indonesia. Berbagai cerita disuguhkan, dari kisah kehidupan sehari-hari, kisah cinta anak ABG, legenda, komedi, sampai ke dunia mistis dan religi. Stasiun Televisi Nasional (TVRI) sendiri sebelum berdirinya stasiun-stasiun TV swasta sudah menyiarkan beberapa tayangan jenis ini, akan tetapi pada masa itu tingkat produksi dan popularitasnya tidak se-heboh tahun-tahun belakangan. Hal ini dapat dimaklumi. Mengingat saat itu TVRI masih menjadi satu-satunya stasiun TV di Indonesia dan perfilman Indonesia masih mampu mengundang minat orang untuk bersilaturahmi ke bioskop.

Pada masa itu dapat disebutkan beberapa judul sinetron seperti Jendela Rumah Kita, Dokter Sartika, Dll. Dapat diingat bagaimana tingkat orisinalitas dan dan kultur budaya Indonesia yang melekat dan tercermin dalam setiap Scene dalam tayangan per-episode. Bahkan tayangan se-simpel Losmen yang menampilkan Alm. Mang Udel dapat memberi kesan tersendiri tanpa harus menyodorkan latar yang macam-macam dan scenery khusus.

Kisah-kisah cerita dari novel seperti Siti Nurbaya dan Sengsara Membawa Nikmat juga dapat ditampilkan secara sederhana dan bagaimana adanya. Tak perlu banyak improvisasi, tapi toh semuanya dapat diterima dan disambut baik oleh para penontonnya.

Perbedaan yang sangat drastis justru terlihat pada masa kejayaan sinetron itu sendiri, yang ditunjukkan dengan berhasilnya sinetron menggeser popularitas sinema India dan telenovela. Lihat saja tahun 2007 dan tahun-tahun sebelumnya. Puluhan sinetron masuk silih berganti menghiasi jadwal acara, hampir semua stasiun TV di Indonesia. Berapa judul atau siapa pemeran dari sinetron itu sendiri bukan merupakan masalah yang begitu berarti. Sisi moral, edukasi, mutu dan originalitas-lah yang selalu menambah poin negatif dari per-sinetron-an Indonesia.

Dari sisi moral, beberapa sinetron Indonesia, terutama yang menyuguhkan kisah cinta dan harta memberikan dampak buruk bagi perkembangan jiwa dan gaya hidup mereka-mereka yang menontonnya. Siapa yang berani menjamin bahwa tingkah polah pacaran anak SMP yang ditampilkan di sinetron tidak akan ditiru oleh anak-anak seusianya?.

Masih adakah tata karma cara berbicara dengan orang yang lebih tua (bahkan dengan orang tua sendiri?!). Apabila anak-anak dibiarkan menonton acara yang menunjukkan adegan seorang anak membentak orang tuanya cuma karena tidak diberi uang, Atau bahkan dalam sebuah adegan sinetron pernah ada seorang anak kecil masih SD menyebut kedua orang tuanya dengan “KALIAN…!!!”.

Jika dilihat-lihat lagi, tak satupun sinetron sekarang yang dapat diberi predikat mendidik kecuali “KELUARGA CEMARA” yang sekarang sudah tidak ditayangkan dan “KIAMAT SUDAH DEKAT”. Lainnya cuma berkutat dengan cinta, harta, ilmu ghaib, religi yang menyesatkan, mimpi dan angan-angan.

Saya sendiri pernah mendengar bahkan menyaksikannya sendiri Orang Jepang berkata “INDONESIA ITU KATANYA MISKIN…!!!, TAPI ITU DI TV KOK REMAJANYA PADA NAIK MOBIL SEDAN?”. Kata-katanya itu sempat membuat saya berfikir “IYA JUGA YA? KALAU DIPIKIR-PIKIR, JUMLAH MOBIL DI INDONESIA JUSTRU LEBIH BANYAJ JIKA DIBANDINGKAN DENGAN JEPANG YANG BIKIN MOBIL…”. Wah, Jepang udah bikin dan jualan mobil tuh?, Indonesia bagaimana???.

Kualitas atau mutu bukan prioritas utama dari pembuatan sinetron. “RATING COMES FIRST”, tak jarang sinetron-sinetron kejar tayang mengabaikan kualitas dari tiap Scene yang dibuat. Terkadang, hal-hal kecil seperti, apa masuk akal seorang anak kecil pengemis memakai kaos distro yang walaupun sengaja dikotori entah dengan oli ataupun itu. Pastinya tetap akan membuat yang menonton bertanya-tanya.

Terakhir, jika dilihat dari sisi orisinil atau tidaknya sebuah sinetron sepertinya harus lebih ditujukan pada orang-orang yang banyak menonton drama-drama asing terutama dari Korea atau Jepang. Ada banyak sinetron yang meniru jalan cerita dari beberapa drama-drama asia. Yang paling sangat disesalkan adalah jiplakan dari One Liters of Tears dari Jepang yang di Indonesia-nya menjadi Buku Harian Nayla. Betapa tidak, kisah nyatanya yang menceritakan ketegaran seorang gadis bernama Aya dalam menghadapi penyakitnya ditiru habis-habisan terlebih lagi tanpa mencantumkan judul asli pada Credit Title-nya. Betapa memalukan kalau semua itu dilakukan hanya untuk mencari untung semata. Perlu diketahui bahwa di Jepang sendiri tayangan yang isinya diambil dari buku harian itu dibuat atas izin dari keluarga Aya.


Tidak ada komentar: